Ws Rendra

Jumat, 19 Agustus 2011 | 0 komentar



Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.



Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.

Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung

Referensi :

biografikecil.blogspot.com

Dwight D. Eisenhower

| 0 komentar



Dwight David Eisenhower, terlahir David Dwight Eisenhower (lahir di Denison, Texas, 14 Oktober 1890 – meninggal di Washington, D.C., 28 Maret 1969 pada umur 78 tahun), atau juga dikenal dengan nama panggilan "Ike", tentara dan politikus Amerika. Ia menjabat Presiden Amerika Serikat ke-34 (1953–1961).
Pada Perang Dunia II, ia adalah Panglima Tertinggi Sekutu di Eropa dengan pangkat Jenderal Angkatan Darat . Pada 3 Januari 1959, ia meresmikan penetapan Alaska sebagai negara bagian yang ke-49 yang merupakan wilayah terluas di Amerika. Eisenhower adalah satu-satunya presiden yang pernah berdinas dalam Perang Dunia I maupun Perang Dunia II.

Perjalanan karier




Dwight D. Eisenhower dilahirkan di Denison, negara bagian Texas, pada 14 Oktober 1890 .
Sebelum menjadi Presiden Amerika ke-34, Dwight Eisenhower telah mempunyai karier yang mengesankan dalam bidang kemiliteran. Ia mahir sekali dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota staf, dan ia menjalankan tugas di bawah tiga Jenderal, antara lain Jenderal Douglas McArthur.
Setelah Jepang menyerang Teluk Mutiara di Hawaii, pada Desember 1940. Kepala Staf Amerika Jendral George Marshall, mengangkat Dwight Eisenhower menjadi Kepala Bagian Perencanaan Perang Staf Umum Departemen Perang Amerika, dan kemudian menjadi Pembantu Kepala Staf. Tak lama sesudah itu ia naik pangkat menjadi Mayor Jenderal.
Pada November 1942 sebagai Letnan Jenderal, Dwight Eisenhower memimpin pendaratan tentara sekutu di Afrika Utara.
Pada 1944 ia diangkat menjadi Panglima Tertinggi Pasukan Sekutu yang menyerbu Perancis. Penyerbuan itu akhirnya menghasilkan penyerahan Jerman pada 8 Mei 1945.

Masa Kepresidenan

Sesudah perang, Dwight Eisenhower berturut-turut menjadi Kepala Staf Angkatan Darat Amerika, Presiden Universitas Columbia di New York, dan Panglima Tertinggi pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO, di Paris. Pada saat itu, baik Partai Demokrat maupun Partai Republik membujuknya supaya bersedia menjadi calon Presiden masing masing. Akhirnya ia terpilih menjadi Presiden dengan perbedaan suara yang banyak sekali.
Dengan berunding berdasarkan kekuatan militer Presiden Dwight Eisenhower berusaha meredakan ketegangan akibat perang dingin. la antara lain berhasil mengadakan penghentian tembak menembak sepanjang perbatasan Korea Selatan, dan menutup perjanjian perdamaian yang menjadikan Austria sebuah negara netral.
Presiden Dwight Eisenhower, yang dua kali berturut-turut menjadi presiden sampai 1960, menyebutkan dirinya seorang moderat.
la berpegang pada sistem pasar bebas.
Menentang pengawasan pemerintah atas harga-harga barang-barang dan kenaikan gaji.
Mencegah keterlibatan pemerintah dalam pertentangan antara kaum buruh dan pihak majikan.
Mendorong program-program peluru kendali dan melanjutkan bantuan luar negeri.
Dalam awal masa pemerintahannya, Mahkamah Agung Amerika Serikat memerintahkan desegregasi sekolah di seluruh Amerika. Untuk menjamin agar sekolah-sekolah di kota Little Rock di negara bagian Arkansas taat pada keputusan sebuah mahkamah federal untuk mengadakan desegregasi, Presiden Dwight Eisenhower mengirim pasukan tentara ke kota tersebut. la juga memerintahkan desegregasi dijalankan sepenuhnya di kalangan angkatan bersenjata Amerika. Ia berkata
Di Amerika Serikat tidak boleh ada warga negara kelas dua
Presiden Dwight Eisenhower memusatkan perhatiannya pada usaha memelihara perdamaian dunia;
Ia mengadakan program rakyat ke rakyat yang mengajurkan agar rakyat biasa dari semua negara saling bertemu dan berbicara untuk memupuk saling pengertian dan persahabatan. Dari program ini timbullah program hubungan persaudaraan antara kota-kota Amerika dan kota-kota negara-negara lain. Kini lebih dari 100 kota Amerika mempunyai hubungan semacam itu dengan kota-kota di seluruh dunia. Program ini dinamakan sister city.
Presiden Eisenhower dengan gembira menyaksikan perkembangan programnya "atom untuk perdamaian." Dalam program itu, Amerika menyumbangkan uranium kepada negara-negara berkembang demi kesejahteraan manusia. Pada 1964, Indonesia mendapat bantuan sebanyak $ 350.000 sebagai sumbangan untuk pembangunan reaktor atom di Bandung.

Setelah masa kepresidenan
Sebelum meninggalkan Gedung Putih pada Januari 1961, Presiden Eisenhower menganjurkan agar kekuatan militer Amerika tetap dipelihara, tetapi juga memperingatkan bahwa pengeluaran anggaran belanja yang sangat besar dan terus menerus untuk keperluan militer dapat membahayakan cara hidup rakyat Amerika. Dalam kata perpisahannya ia berdoa semoga semua bangsa di dunia ini hidup bersama dalam damai, berdasarkan rasa kasih sayang dan saling menghargai antara sesama manusia. Eisenhower meninggal dunia akibat serangan jantung pada 28 Maret 1969 di Washington, D.C.. Ia meninggalkan isterinya dan seorang putera yang kala itu sedang bertugas sebagai Duta Besar Amerika untuk Belgia.

Referensi
Buku Presiden - Presiden Amerika Serikat, diterbitkan oleh Dinas Penerangan dan Kebudayaan Amerika Serikat, Jakarta (2003)

Sumber : wikipedia.org


Tips Memancing Wader

Kamis, 18 Agustus 2011 | 0 komentar




Ikan wader adalah jenis ikan air tawar yang paling gampang ditemukan di kolam – kolam dan waduk ataupun sungai yang airnya jernih. Ikan ini memiliki kekhasan yakni adanya dua bintik yang terdapat dibawah badannya. Ikan wader termasuk dalam suku Cyprinidae dan terdapat di perairan tawar di seluruh nusantara dan dalam bahasa Inggris diberi nama spotted barb. Ikan ini memiliki ukuran kecil sebesar jari kelingking dan yang paling besar bisa mencapai ukuran 2 jari manusia atau bahkan lebih.

Ikan wader di alam liar memakan semua makanan yang ada di alam alias omnivora. Ia makan berbagai jenis makanan seperti telur ikan lain, lumut dan berbagai jenis serangga air. Ikan ini termasuk ikan yang rakus bahkan besifat karnivora karena ia juga makan telur ikan wader lainnya yang ada di perairan.
Ikan wader di Indonesia hanya digunakan sebagai ikan konsumsi alias dimakan, namun di negara eropa jenis ikan ini dipelihara sebagai ikan hias karena memiliki warna keperakan yang indah, dan beberapa jenis lain dari wader juga memiliki warna kehijauan sehingga lebih indah saat dipelihara di aquarium. Jenis lai dari ikan wader dapat berwarna merah dan kuning keperakan, namun semua memiliki ciri yang sama yaitu adanya bintik hitam di bagian bawah tubuhnya.


Untuk memancing wader sebetulnya tidak ada tehnik khusus, tapi bagi penikmat mancing tentunya memancing tidaklah sekedar mendapat ikan, tapi tentu ingin merasakan sensasinya. Berdasarkan pengalaman, fishing tackle yang dipergunakan akan menentukan kenikmatannya. Tips berikut ini bisa dicoba jika ingin merasakan sensasi mancing wader.

Joran :
Sebaiknya pergunakan joran tegeg yang soft atau medium taper panjang 2,4 atau 2,7 m ( disesuaikan dengan kondisi lokasi ) semakin lentur joran akan semakin sensitif merespon tarikan ikan wader yang ukurannya memang kecil kecil.


Line :
Pilih line mono yang sekecil mungkin ( mis. 0,1 atau 0, 12 mm ), line yang semakin kecil akan terasa lebih terasa nikmatnya mancing wader.


Hook :
Pilih mata kail carbon no. 0,5 – 0,8 . Mata kail yang terlalu besar akan kurang efektif karena ikan mudah mocel, memang dibutuhkan keahlian tersendiri untuk memasang mata kail no. 0.5 / 0,8 pada senar 0,1mm.

Pelampung :
Pilih yang model bulat memanjang dengan panjang kl. 3cm. Pelampung di sini selain berfungsi sebagai indikator saat umpan dibawa lari ikan juga supaya umpan menggantung di tengah air. Atau bisa menggunakan pelampung bulat kecil.

Pemberat :
Gunakan timah lipat yang tipis dengan ukuran 10 X 5 mm, berfungsi supaya umpan lebih cepat masuk ke dalam air. Gunakan sedikit saja, agar umpan cepat masuk namun pelampung tidak ikut tenggelam.

Umpan :
Karena wader termasuk ikan yang rakus, banyak jenis umpan yang bisa dipergunakan, seperti : cacing, pelet, nasi, roti, tahu bacem, dtempe busuk yang dicampur bawang, bakwan, ubi, lumut, telur semut merah, ulat buah (sukun, belimbing, dll), atau campuran dari telur mentah, pelet, biskuit, dan snack anak-anak. Setiap daerah mempunyai ciri khas umpan untuk mancing ikan ini.

Di daerah lain seperti di daerah Jawa Barat, kalau tidak salah, ikan wader disebut dengan beunteur . Dipancing menggunakan joran khas Jawa Barat, yang disebut jejer, super light tackle yang bahkan tidak memiliki kelas lbs (pounds) saking lenturnya piranti ini. Kebanyakan jejer-jejer itu bikinan sendiri dan kadang begitu 'mewah' dengan aksesoris unik misalnya gagangnya terbuat dari tanduk rusa dan lain sebagainya. Kelenturan joran ini menurut saya sangat luar biasa, karena saat dimakan ikan-ikan beunteur mungil itu joran harus tetap bisa memberikan ‘tanda’ kepada pemancingnya.

Selamat memancing !!


Sedikit tentang..Ganja!

| 0 komentar




Ganja (Cannabis sativa syn. Cannabis indica) adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya, tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang dapat membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab). Tanaman ganja biasanya dibuat menjadi rokok mariyuana.
Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai 2 meter. Berdaun menjari dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda (berumah dua). Bunganya kecil-kecil dalam dompolan di ujung ranting. Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut.
Ganja menjadi simbol budaya hippies yang pernah populer di Amerika Serikat. Hal ini biasanya dilambangkan dengan daun ganja yang berbentuk khas. Selain itu ganja dan opium juga didengungkan sebagai simbol perlawanan terhadap arus globalisme yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara berkembang. Di India, sebagian Sadhu yang menyembah dewa Shiva menggunakan produk derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap hashish melalui pipa chilam/chillum, dan dengan meminum bhang.

Kontroversi



Di beberapa negara tumbuhan ini tergolong narkotika, walau tidak terbukti bahwa pemakainya menjadi kecanduan, berbeda dengan obat-obatan terlarang jenis lain yang menggunakan bahan-bahan sintetik atau semi sintetik dan merusak sel-sel otak, yang sudah sangat jelas bahayanya bagi umat manusia.Di antara pengguna ganja, beragam efek yang dihasilkan, terutama euforia (rasa gembira) yang berlebihan serta hilangnya konsentrasi untuk berpikir di antara para pengguna tertentu.
Efek negatif secara umum adalah pengguna akan menjadi malas dan otak akan lamban dalam berpikir. Namun, hal ini masih menjadi kontroversi, karena tidak sepenuhnya disepakati oleh beberapa kelompok tertentu yang mendukung medical marijuana dan marijuana pada umumnya. Selain diklaim sebagai pereda rasa sakit, dan pengobatan untuk penyakit tertentu (termasuk kanker), banyak juga pihak yang menyatakan adanya lonjakan kreativitas dalam berpikir serta dalam berkarya (terutama pada para seniman dan musisi).
Berdasarkan penelitian terakhir, hal ini (lonjakan kreativitas), juga dipengaruhi oleh jenis ganja yang digunakan. Salah satu jenis ganja yang dianggap membantu kreativitas adalah hasil silangan modern "Cannabis indica" yang berasal dari India dengan "Cannabis sativa" dari Barat. Jenis ganja silangan inilah yang tumbuh di Indonesia.
Efek yang dihasilkan juga beragam terhadap setiap individu. Segolongan tertentu ada yang merasakan efek yang membuat mereka menjadi malas, sementara ada kelompok yang menjadi aktif, terutama dalam berfikir kreatif (bukan aktif secara fisik seperti efek yang dihasilkan metamfetamin). Ganja, hingga detik ini, tidak pernah terbukti sebagai penyebab kematian maupun kecanduan. Bahkan, di masa lalu dianggap sebagai tanaman luar biasa, di mana hampir semua unsur yang ada padanya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Hal ini sangat bertolak belakang dan berbeda dengan efek yang dihasilkan oleh obat-obatan terlarang dan alkohol, yang menyebabkan penggunanya menjadi kecanduan hingga tersiksa secara fisik, dan bahkan berbuat kekerasan maupun penipuan (aksi kriminal) untuk mendapatkan obat-obatan kimia buatan manusia itu.
Dalam penelitian ilmiah dengan metode systematic review yang membandingkan efektifitas ganja sebagai obat antiemetic didapatkan hasil ganja memang efektif sebagai obat antiemetic dibanding prochlorperazine, metoclopramide, chlorpromazine, thiethylperazine, haloperidol, domperidone, atau alizapride, tetapi pengunaannya sangat dibatasi dosisnya, karena sejumlah pasien mengalami gejala efek psikotropika dari ganja yang sangat berbahaya seperti pusing, depresi, halusinasi, paranoia, dan juga arterial hypotension.

Pemanfaatan







Tumbuhan ganja telah dikenal manusia sejak lama dan digunakan sebagai bahan pembuat kantung karena serat yang dihasilkannya kuat. Biji ganja juga digunakan sebagai sumber minyak.
Namun demikian, karena ganja juga dikenal sebagai sumber narkotika dan kegunaan ini lebih bernilai ekonomi, orang lebih banyak menanam untuk hal ini dan di banyak tempat disalahgunakan.
Di sejumlah negara penanaman ganja sepenuhnya dilarang. Di beberapa negara lain, penanaman ganja diperbolehkan untuk kepentingan pemanfaatan seratnya. Syaratnya adalah varietas yang ditanam harus mengandung bahan narkotika yang sangat rendah atau tidak ada sama sekali.
Sebelum ada larangan ketat terhadap penanaman ganja, di Aceh daun ganja menjadi komponen sayur dan umum disajikan.
Bagi penggunanya, daun ganja kering dibakar dan dihisap seperti rokok, dan bisa juga dihisap dengan alat khusus bertabung yang disebut bong.



Budidaya








Tanaman ini ditemukan hampir disetiap negara tropis. Bahkan beberapa negara beriklim dingin pun sudah mulai membudidayakannya dalam rumah kaca.
Di Indonesia, ganja dibudidayakan secara ilegal di Provinsi Aceh. Biasanya ganja ditanam pada awal musim penghujan, menjelang kemarau sudah bisa dipanen hasilnya.
Hasil panen ganja berupa daun beriut ranting dan bunga serta buahnya berupa biji-biji kecil. Campuran daun, ranting, bunga, dan buah yang telah dikeringkan inilah yang biasa dilinting menjadi rokok mariyuana. Kalau bunga betinanya diekstrak, akan dihasilkan damar pekat yang disebut hasyis.

Pelafalan dalam bahasa lain.


Sebutan lain: marijuana (bahasa Inggris), tampee (bahasa Inggris Jamaika), pot, maui wowie, weed, dope atau green stuff (slang bahasa Inggris), cimeng, baks, skab, jame, jankry, atau gele (slang bahasa Indonesia).




Kukri

Rabu, 17 Agustus 2011 | 0 komentar


The kukri (Devnagari/ खुकुरी) (originally spelled khukri or khukuri) is a curved Nepalese Knife, similar to the machete, used as both a tool and as a weapon. It is a traditional weapon for Nepalese people, and also a weapon of choice/side arm for all Nepalese including those serving in different armies around the world.
The cutting edge is inwardly curved in shape and is the icon of Nepal. It was, and in many cases still is, the basic and traditional utility knife of the Nepalese people. Very effective when used as a weapon, it is a symbolic weapon of the Nepalese Army, and of all Gurkha regiments throughout the world, signifying the courage and valor of the bearer in the battlefield. It is a part of the regimental weaponry and heraldry of the Royal Gurkha Rifles, and is used in many traditional rituals among different ethnic groups of Nepal, including one where the groom has to wear it during the wedding ceremony. It is known to many people as simply the "Gurkha blade" or "Gurkha knife".
The pronunciation "Kukri" is of western origin, the Nepalese people to whom this weapon belongs pronounce it as "Khukuri."

Uses
The blade's distinctive forward drop is intended to act as a weight on the end of the blade and make the kukri fall on the target faster and with more power. Although a popular legend states that a Gurkha "never sheathes his blade without first drawing blood" (this is said to be what the small, sharp notch on the blade near the handle is for: in case you wanted to draw your kukri for a non-militant purpose, and needed to draw blood before sheathing your knife. You could scrape your thumb on the notch, draw blood, and sheathe your knife without breaking tradition), the kukri is most commonly employed as a multi-use utility tool rather like a machete. The kukri also has a religious significance in the Nepalese form of the Hindu religion. During the annual Dashain festival, kukris are ceremonially blessed.

Weaponry
The kukri is effective as both a chopping and a slashing weapon. In combat, it is basically used in three different styles: stabbing with the point, slashing or chopping with the edge, and (rarely) throwing. Because the blade bends towards the opponent, the user need not angle the wrist, which makes the kukri more comfortable as a stabbing weapon than other straight-bladed knives. Its heavy blade enables the user to inflict deep wounds and to cut through muscle and bone. Gurkhas were known for using the kukri to chop off an enemy soldier's head with one stroke.

Utility
While most famed from use in the military, the kukri is most commonly used as a multipurpose tool, and is a very common agricultural and household implement in Nepal. Its use has varied from building, clearing, chopping firewood, and digging to cutting meat and vegetables, skinning animals, and opening tins.

Design
The Kukri is designed primarily for chopping. The shape varies a great deal from being quite straight to highly curved with angled or smooth spines. There are substantial variations in dimensions and blade thickness depending on intended tasks as well as the region of origin and Kami that produced it. As a general guide the spines vary from 5–10 mm at the handle, and can taper to 2 mm by the point while the blade lengths can vary from 26–38 cm for general use.
A Kukri designed for general purpose is commonly 40–45 cm (16–18 in) in overall length and weighs approximately 450–900 grams (1–2 lbs). Bigger examples are impractical for everyday use and are rarely found except in collections or as ceremonial weapons. Smaller ones are of more limited utility, but very easy to carry.
Another factor that affects its weight and balance is the construction of the blade. To reduce weight while keeping strength the blade might be hollow forged, or a fuller is created. Kukris are made with several different types of fuller including: tin chira (triple fuller), dui chira (double fuller), angkhola (single fuller), or basic non-tapered spines with a large beveled edge.
Kukri blades usually have a notch (kauda, kaudi, kaura, or cho) at the base of the blade. Various reasons are given for this, both practical and ceremonial: that it makes blood and sap drop off the blade rather than running onto the handle; that it delineates the end of the blade whilst sharpening; that it is a symbol representing a cow foot, or Shiva (Brigade of Gurkhas).
Handles are most often made of hardwood or water buffalo horn, but ivory, bone, and metal handles are also used. The handle quite often has a flared butt that allows better retention in draw cuts and chopping. Most handles have metal bolsters and butt plates which are generally made of brass or steel.
The traditional handle attachment in Nepal is the partial tang, although these days the stick tang is more popular. The full tang was mainly used on some military models, but has not caught on in Nepal itself.
The Kukri typically comes in either a decorated wooden scabbard or a leather wrapped scabbard. The scabbard usually holds a karda (auxiliary knife) and a chakmak (steel-flint striker) in addition. On many village Kukris and some older military Kukris, the scabbard also has a tinder pouch.

Manufacture
Traditionally the Kami and Biswakarma are the masters of inherited Kukri making art.[1]
The Kukri blade is forged from steel. Modern Kukri blades are often forged from leaf springs collected from recycled truck suspensions.[1] The tang of the blade usually extends all the way through to the end of the handle; the small portion of the tang that projects through the end of the handle is hammered flat to secure the blade. A Kukri blade has a hard, tempered edge and a softer spine. This enables it to maintain a sharp edge, yet tolerate impacts. They are also balanced so that they will rest in a vertical position if supported on a fulcrum, such as a finger.
Traditional Kukris usually have handles made from hardwood or water buffalo horn. These handles are often fastened with a kind of tree sap called laha (also known as "Himalayan epoxy"). With a wood or horn handle, the tang may be heated and burned into the handle to ensure a tight fit, since only the section of handle which touches the blade is burned away. In more modern Kukris, handles of cast aluminum or brass are press-fitted to the tang; as the hot metal cools it shrinks and hardens, locking onto the blade. Some Kukris (such as the ones made by contractors for the modern Indian Army) have a very wide tang with handle slabs fastened on by two or more rivets, commonly called a full tang (chiruwa) configuration.
Traditional profiling of the blade edge is performed by a two-man team; one man spins a grinding wheel forwards and backwards by means of a rope wound several times around an axle, while the sharpener applies the blade. The wheel is made by hand from fine river sand bound by laha, the same adhesive used to the affix the handle to the blade. Routine sharpening is traditionally accomplished by passing a chakmak (smaller, harder, unsharpened blade) over the edge in a manner similar to that used by Western chefs to steel their knives.
Khukuri sheaths are usually made of wood with a goatskin covering. The leatherwork is usually done by a sarki. Traditionally, the scabbard also holds two smaller tools called the karda and the chakmak. The karda is a small accessory blade used for many tasks. The chakmak is unsharpened and is used to burnish the blade. It can also be used to start a fire with flint. Attached to older style scabbards there is sometimes a pouch for carrying flint or dry tinder.


Classification


Kukris can be broadly classified into two types: Eastern and Western. The Eastern blades are usually regarded as the thinner and are often referred to as Sirupate (Siru Leaf). Western blades are generally more broad. Occasionally the Western style is called Budhuna (refers to a fish with a large head) or Baspate (Bamboo leaf) which refers to blades just outside of the normal Sirupate blade. Despite the classification of Eastern and Western, both styles of kukri appear to be used in all areas of Nepal.

History
It is a matter of debate whether the design came into Nepal from another country or who promoted it first. It may be indigenous to the Indian region, but similar designs were used in ancient Egypt, Iberia, and Greece.
One weapon of Iberian origin, the falcata, shows some similarity with the kukri, and the Greeks used similar weapons called the machaira and kopis. Alexander the Great's men used weapons of this type and may have spread it into India when Alexander moved into the Punjab.
The Greek kings in Afghanistan and India in later centuries who had relation with Mediterranean culture seem to have used tools similar to kukri, and possibly were promoters of it.
It is not documented if the Aryans had similar tools at that time.
Eurasian steppe people, the Turks, used a type of forward-curving sword called a yataghan between the mid-16th to late 19th centuries and looked similar to kukri.
The oldest known kukris are in the National Museum (Kathmandu) in Nepal, and belonged to Drabya Shah circa 1559. The kukri came to be known to the Western world when the East India Company came into conflict with the growing Gurkha Empire, culminating in the Gurkha War of 1814–1816.
All Gurkha troops are issued the kukri, and in modern times in the Brigade of Gurkhas, they receive training in its use. The kukri gained fame in the Gurkha War for its effectiveness. Its continued use through both World War I and World War II enhanced its reputation among both Allied troops and enemy forces. During the Second World War, the kukri was purchased and used by other British, Commonwealth, and U.S. troops training in India, including the Chindits and Merrill's Marauders. It was also standard issue for Canadian scouts and snipers in North-West Europe.[citation needed] The reputation of the Gurkha with his kukri carried on through Falklands War.




sumber http://en.wikipedia.org/wiki/Kukri

The Offspring - The Worst Hangover Ever

| 0 komentar



The Worst Hangover Ever



Ballroom scene, but the fire underneath,
Gonna eat you all alive,
Gonna bring you to your knees.


Went out drinking late last night, I had a blast,
But now the morning light has come and kicked my ass!


(WOAH OHHH OHHH)


I've got the worst hangover ever!
I'm crawling to the bathroom again
It hurts so bad that I'm never gonna drink again


And by my seventh shot I was invincible
I would've never thought I'd be this miserable


(WOAH OHHH OHHH)


I've got the worst hangover ever!
I'm rollin' back and forth on the bed
I'm worked so bad that I'm never gonna drink again


Won't someone just kill me
Put me out of my misery!
I'm makin' deals with God
I'll do anything!


make it stop please
make it stop please!
make it stop please
make it stop please!


(WOAH OHHH OHHH)


I've got the worst hangover ever!
I'm crawlin' to the bathroom again,


It hurts so bad that I'm never gonna drink again.
I'll probably never drink again.
I may not ever drink again.
At least not 'til next weekend


I'm never gonna drink again!
 
© Copyright 2010-2011 GTn Blog's All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.